“Alam takambang jadi guru” adalah sebuah falsafah hidup orang Minangkabau dan
judul buku Almarhum A.A Navis sampai saat ini tetap tidak lapuk karena hujan
dan lekang karena panas. Filsafat ini tetap bisa jadi pijakan hidup kita
sebagai orang tua dalam kehidupan dalam masyarakat. Sekaligus filsafat ini
mengajak kita untuk peka dan bercermin atas peristiwa-peristiwa yang ada di
seputar hidup kita.
Sudah menjadi kecendrungan dari keluarga sekarang untuk memiliki
jumlah anak yang lebih kecil daripada keluarga yang lebih senior usianya.Kita
perlu untuk berterima kasih atas program KB yang sudah lama diluncurkan oleh
pemerintah. Kalau begitu apakah anak-anak dari keluarga kecil hidup lebih
beruntung dibandingkan dengan anak-anak dahulu dari keluarga besar (?). Dari
segi pertumbuhan biologi bisa dijawab “ya” karena keluarga kecil bisa
menyediakan kebutuhan bahan sandang dan pangan yang lebih baik. Tetapi dari
segi pertumbuhan mental, emosional dan sosial ,pada sebagian keluarga kecil
sekarang, perlu telaah lebih lanjut.
Dari pengalaman kita dapat melihat bahwa cukup banyak generasi muda sekarang
yang hidup tanpa orientasi yang jelas, merasa masa depan mereka tidak pasti dan
menjadi mudah frustasi. Kita juga dapat menemui banyak pemuda dan pemudi
sekarang hidup kurang beruntung dibandingkan dengan orangtua mereka. Padahal
tingkat pendidikan mereka rata-rata cenderung lebih tinggi. Tetapi mengapa
mereka tampak tidak berdaya, cendrung santai, menganggur karena terbatasnya
lowongan kerja yang sudah menjadi alasan klasik.
Kecendrungan kelurga dulu dengan anak banyak membuat mereka harus banting
tulang untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang jumlahnya
lebih besar. Malah sebagai implikasi, kadang-kadang, anak-anak pun wajib
bekerja untuk meringankan beban keluarga. Keluarga senior dengan jumlah anak
yang agak banyak hampir-hampir tidak punya waktu untuk “mencikaraui”, ikut
campur dalam urusan pribadi anak-anak mereka.
Kecendrungan anak-anak dari keluarga besar adalah mereka mengalami dan memiliki
pertumbuhan sosial dan emosional yang lebih baik daripada sebagian anak-anak
keluarga kecil. Mereka sejak usia dini sudah dilepas oleh ayah-ibu yang juga
sibuk untuk mencari nafkah untuk ikut mengembara, melakukan eksplorasi atau
penjelajahan, bersama kakak dan teman-teman mereka.
Sejak usia dini mereka sudah memiliki segudang pengalaman hidup lewat peristiwa
demi peristiwa sosial. Suka duka pengalaman sosial dari dunia bermain
yang mereka alami . Mereka telah belajar untuk mengenal langsung tentang peran
hidup untuk beradaptasi, berakomodasi, menerima dan mengalah dan kadang-kadang
harus berkompetisi.
Anak yang kekurangan pengalaman hidup karena telalu banyak dilindungi , ibarat
telapak kaki yang terlalu banyak dilindungi oleh sepatu menjadi amat tipis dan
susah melangkah diatas kerikil-kerikil. Hidup di dunia memang penuh dengan
benturan-benturan kecil sampai dengan benturan-benturan besar sebagai kerikil
kehidupan.
David J.Scwart (dalam bukunya The magic of thinking big; 1996) mengatakan bahwa
lingkungan dan orang-orang di sekeliling kita adalah ibarat laboratorium
kemanusiaan . Kita adalah sebagai ahli untuk labor tadi. Kita dapat mengamati
dan menganalisa mengapa seseorang bisa punya banyak teman atau sedikit teman,
berhasil atau gagal atau biasa-biasa saja. Kita pun kemudian dapat memilih tiga
orang yang berhasil dan tiga orang yang gagal dan kemudian menganalisa dan
membandingkan kenapa mereka bisa demikian. Hasil pengamatan dan penelitian tadi
bisa menjadi pengalaman berharga bagi kita.
Sebagai orangtua, kita perlu bersikap arif dan bijaksana dalam mendidik dan
memebesarkan anak. Kita harus punya konsep tentang bagaimana menjadi orangtua
yang ideal bagi mereka termasuk dalam hal megurus dan mengarahkan
pendidikan mereka.
Bagaimana orang tua menyikapi anak yang lulus dan mencari sekolah untuk pendidikan
selanjutnya. Sebagai contoh, cukup banyak anak-anak lulusan dari SLTA yang
tidak tahu hendak kemana pergi setelah itu. Kemana atau apa yang akan
dilakukan setelah lulus dari SMA merupakan salah satu titik penting dalam
kehidupan seseorang. Pada saat itulah tahap awal kedewasaan seseorang dimulai.
Keputusan tentang langkah apa yang akan diambil memeberikan pengaruh besar
terhadap kehidupan selanjutnya.
Penting untuk diingat bahwa setiap anak perlu memiliki suatu cita-cita atau
tujuan spesifik yang menjadi arah dari apa yang ingin untuk dicapaianya. Namun
dalam kenyataan adalah cukup banyak anak-anak ,lulusan SMA, yang kebingungan
karena tidak punya cita-cita dan berfikir “harus mengapa setelah ini”.
Kebingungan bersumber dari kurangnya pengenalan minat dan kemampuan diri.
Tentu saja ini akibat dari miskin atau kurangnya pengetahuan dan wawasan ,
kurangnya persiapan intelektual dan kurang mengenal pribadi sendiri.
Kekurangan-kekurangan ini ,seperti yang telah dijelaskan, disebabkan oleh
minimnya pengalaman ekplorasi dan jati diri. Penyebab lain adalah karena tidak
terbiasa dengan budaya belajar dan hidup yang mandiri.
Tidak punya cita-cita dalam hidup dan kurang mengenal potensi diri adalah efek
negatif dari kurang ekplorasi dan kurang punya jati diri. Untuk mengantisipasi
yang demikian maka orangtua dan anak perlu untuk mengembankan dunia jelajahnya
atau ekplorasi sejak dini. Setiap anak seharusnya punya banyak pengalaman,
sesuai dengan konsep kepintaran berganda,punya pengalaman berteman dan
berkomunikasi dengan banyak orang, banyak mengenal tempat lain, mengenal seni
dan olah raga, memahami dan mengamalkan agama, berpengalaman dalam menguasai
emosi sendiri dan lain-lain.
Anak-anak yang rajin diajak oleh orangtua ke berbagai tempat profesi seperti
bank, universitas, pabrik, bandar udara, pusat pelatihan komputer dan lain-lain
akan memiliki segudang cita-cita dibandingkan dengan anak anak yang banyak
mengurung diri di seputar rumah saja.
Untuk membebaskan anak dari kebingungan dan tanpa cita-cita dalam
hidup maka orangtua bertanggungjawab untuk menanamkam ,dan sekaligus
memberi contoh tentang, budaya gemar belajar dan hidup mandiri sedini mungkin.
Orangtua perlu untuk menyisihkan sedikit dana dan melowongkan waktu untuk
keperluan belajar anak di rumah dan memberi contoh langsung tentang betapa
pentingnya memebaca, belajar yang banyak dan pintar dalam membagi waktu dan
pintar berkomunikasi dengan banyak orang. Selain itu orangtua perlu mendukung anak
untuk mengembangkan hobi dan bersikap kreatif dalam hidup. Orangtua perlu
memberi anak kebebasan untuk mencoba dan mengurangi sikap yang terlalu possesif
dan over-protektif (terlalu melindungi) yang tercermin dalam sikap yang banyak
serba membantu dan serba melarang anak. Di waktu lowong anak (dan orang tua)
perlu untuk rekreasi yang lebih bersifat edukatif.
Anak-anak dengan pribadi yang berimbang antara intelektual, emosional dan
spiritual serta kreatif dan mandiri adalah anak yang sangat kita harapkan.
Untuk mewujudkan ini maka kita perlu untuk menanamkan budaya gemar belajar dan
hidup mandiri dalam rumah tangga sejak dini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar