Jumat, 09 September 2011

Menumbuhkan Budaya Gemar Belajar Dan Hidup Mandiri


            “Alam takambang jadi guru” adalah sebuah falsafah hidup orang Minangkabau dan judul buku Almarhum A.A Navis sampai saat ini tetap tidak lapuk karena hujan dan lekang karena panas. Filsafat ini tetap bisa jadi pijakan hidup kita sebagai orang tua dalam kehidupan dalam masyarakat. Sekaligus filsafat ini mengajak kita untuk peka dan bercermin atas peristiwa-peristiwa yang ada di seputar hidup kita.

            Sudah menjadi kecendrungan dari keluarga sekarang untuk memiliki jumlah anak yang lebih kecil daripada keluarga yang lebih senior usianya.Kita perlu untuk berterima kasih atas program KB yang sudah lama diluncurkan oleh pemerintah. Kalau begitu apakah anak-anak dari keluarga kecil hidup lebih beruntung dibandingkan dengan anak-anak dahulu dari keluarga besar (?). Dari segi pertumbuhan biologi bisa dijawab “ya” karena keluarga kecil bisa menyediakan kebutuhan bahan sandang dan pangan yang lebih baik. Tetapi dari segi pertumbuhan mental, emosional dan sosial ,pada sebagian keluarga kecil sekarang, perlu telaah lebih lanjut.
            Dari pengalaman kita dapat melihat bahwa cukup banyak generasi muda sekarang yang hidup tanpa orientasi yang jelas, merasa masa depan mereka tidak pasti dan menjadi mudah frustasi. Kita juga dapat menemui banyak pemuda dan pemudi sekarang hidup kurang beruntung dibandingkan dengan orangtua mereka. Padahal tingkat pendidikan mereka rata-rata cenderung lebih tinggi. Tetapi mengapa mereka tampak tidak berdaya, cendrung santai, menganggur karena terbatasnya lowongan kerja yang sudah menjadi alasan klasik.
            Kecendrungan kelurga dulu dengan anak banyak membuat mereka harus banting tulang untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang jumlahnya lebih besar. Malah sebagai implikasi, kadang-kadang, anak-anak pun wajib bekerja untuk meringankan beban keluarga. Keluarga senior dengan jumlah anak yang agak banyak hampir-hampir tidak punya waktu untuk “mencikaraui”, ikut campur dalam urusan pribadi anak-anak mereka.
  Kecendrungan anak-anak dari keluarga besar adalah mereka mengalami dan memiliki pertumbuhan sosial dan emosional yang lebih baik daripada sebagian anak-anak keluarga kecil. Mereka sejak usia dini sudah dilepas oleh ayah-ibu yang juga sibuk untuk mencari nafkah untuk ikut mengembara, melakukan eksplorasi atau penjelajahan, bersama kakak dan teman-teman mereka.
            Sejak usia dini mereka sudah memiliki segudang pengalaman hidup lewat peristiwa demi peristiwa sosial. Suka duka pengalaman  sosial dari dunia bermain yang mereka alami . Mereka telah belajar untuk mengenal langsung tentang peran hidup untuk beradaptasi, berakomodasi, menerima dan mengalah dan kadang-kadang harus berkompetisi.
            Anak yang kekurangan pengalaman hidup karena telalu banyak dilindungi , ibarat telapak kaki yang terlalu banyak dilindungi oleh sepatu menjadi amat tipis dan susah melangkah diatas kerikil-kerikil. Hidup di dunia memang penuh dengan benturan-benturan kecil sampai dengan benturan-benturan besar sebagai kerikil kehidupan.
             David J.Scwart (dalam bukunya The magic of thinking big; 1996) mengatakan bahwa lingkungan dan orang-orang di sekeliling kita adalah ibarat laboratorium kemanusiaan . Kita adalah sebagai ahli untuk labor tadi. Kita dapat mengamati dan menganalisa mengapa seseorang bisa punya banyak teman atau sedikit teman, berhasil atau gagal atau biasa-biasa saja. Kita pun kemudian dapat memilih tiga orang yang berhasil dan tiga orang yang gagal dan kemudian menganalisa dan membandingkan kenapa mereka bisa demikian. Hasil pengamatan dan penelitian tadi bisa menjadi pengalaman berharga bagi kita.
             Sebagai orangtua, kita perlu bersikap arif dan bijaksana dalam  mendidik dan memebesarkan anak. Kita harus punya konsep tentang bagaimana menjadi orangtua yang ideal  bagi mereka termasuk dalam hal megurus dan mengarahkan pendidikan mereka.
            Bagaimana orang tua menyikapi anak yang lulus dan mencari sekolah untuk pendidikan  selanjutnya. Sebagai contoh, cukup banyak anak-anak lulusan dari SLTA yang tidak tahu hendak kemana  pergi setelah itu. Kemana atau apa yang akan dilakukan setelah lulus dari SMA merupakan salah satu titik penting dalam kehidupan seseorang. Pada saat itulah tahap awal kedewasaan seseorang dimulai. Keputusan tentang langkah apa yang akan diambil memeberikan pengaruh besar terhadap kehidupan selanjutnya.
             Penting untuk diingat bahwa setiap anak perlu memiliki suatu cita-cita atau tujuan spesifik yang menjadi arah dari apa yang ingin untuk dicapaianya. Namun dalam kenyataan adalah cukup banyak anak-anak ,lulusan SMA, yang kebingungan karena tidak punya cita-cita dan berfikir “harus mengapa setelah ini”.
            Kebingungan  bersumber dari kurangnya pengenalan minat dan kemampuan diri. Tentu saja ini akibat dari miskin atau kurangnya pengetahuan dan wawasan , kurangnya persiapan intelektual dan kurang mengenal pribadi sendiri. Kekurangan-kekurangan ini ,seperti yang telah dijelaskan, disebabkan oleh minimnya pengalaman ekplorasi dan jati diri. Penyebab lain adalah karena tidak terbiasa dengan budaya belajar dan hidup yang mandiri.
            Tidak punya cita-cita dalam hidup dan kurang mengenal potensi diri adalah efek negatif dari kurang ekplorasi dan kurang punya jati diri. Untuk mengantisipasi yang demikian maka orangtua dan anak perlu untuk mengembankan dunia jelajahnya atau ekplorasi sejak dini. Setiap anak seharusnya punya banyak pengalaman, sesuai dengan konsep kepintaran berganda,punya pengalaman berteman dan berkomunikasi dengan banyak orang, banyak mengenal tempat lain, mengenal seni dan olah raga, memahami dan mengamalkan agama, berpengalaman dalam menguasai emosi sendiri dan lain-lain.
            Anak-anak yang rajin diajak oleh orangtua ke berbagai tempat profesi seperti bank, universitas, pabrik, bandar udara, pusat pelatihan komputer dan lain-lain akan memiliki segudang cita-cita dibandingkan dengan anak anak yang banyak mengurung diri di seputar rumah saja.
            Untuk membebaskan anak dari kebingungan  dan tanpa cita-cita dalam hidup  maka orangtua bertanggungjawab untuk menanamkam ,dan sekaligus memberi contoh tentang, budaya gemar belajar dan hidup mandiri sedini mungkin. Orangtua perlu untuk menyisihkan sedikit dana dan melowongkan waktu untuk keperluan belajar anak di rumah dan memberi contoh langsung tentang betapa pentingnya memebaca, belajar yang banyak dan pintar dalam membagi waktu dan pintar berkomunikasi dengan banyak orang. Selain itu orangtua perlu mendukung anak untuk mengembangkan hobi dan bersikap kreatif dalam hidup. Orangtua perlu memberi anak kebebasan untuk mencoba dan mengurangi sikap yang terlalu possesif dan over-protektif (terlalu melindungi) yang tercermin dalam sikap yang banyak serba membantu dan serba melarang anak. Di waktu lowong anak (dan orang tua) perlu untuk rekreasi yang lebih bersifat edukatif.
            Anak-anak dengan pribadi yang berimbang antara intelektual, emosional dan spiritual serta kreatif dan mandiri adalah anak yang sangat kita harapkan. Untuk mewujudkan ini maka kita perlu untuk menanamkan budaya gemar belajar dan hidup mandiri dalam rumah tangga sejak dini.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar